Pemimpin yang berkuasa terlalu lama cenderung
menjadi diktator. Itu juga yang terjadi pada para pemimpin di Indonesia.
Presiden Soekarno juga agaknya tak luput dari kecenderungan itu.
Setelah terjadi serangkaian upaya pembunuhan
terhadap dirinya, Soekarno menjadi keras pada lawan-lawan politiknya. Tanpa
pengadilan dan dasar yang jelas, Soekarno memenjarakan mereka yang dianggap
berseberangan dengan dirinya. Soekarno juga memberedel surat kabar yang
dianggap berseberangan dengan dirinya. Inilah saat-saat gelap politik Demokrasi
Terpimpin.
Melalui bukunya 'Hari terakhir Kartosoewirjo: 81
Foto Eksekusi mati Imam DI/TII', sejarawan dan budayawan Fadli Zon mengungkap
Kartosoewirjo dieksekusi mati dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
Eksekusi mati terhadap Kartosoewirjo dilakukan pada
September 1962 atas persetujuan Presiden Soekarno. Saat itu Bung Karno mengaku
keputusan untuk menandatangani eksekusi mati itu merupakan salah satu hal
terberat dalam hidupnya.
Bahkan kabarnya, sebelum Bung Karno bersedia
menandatangani vonis mati itu, sang proklamator berkali-kali menyingkirkan
berkas eksekusi mati Kartosoewirjo dari meja kerjanya. Hal itu dilakukannya
bukan tanpa alasan, Bung Karno dan Kartosoewirjo sudah sejak lama bersahabat.
Keduanya sama-sama berguru pada orang yang sama
yakni HOS Tjokroaminoto. Saat itu keduanya tinggal di sebuah rumah kontrakan
milik tokoh Sarekat Islam itu.
"Di tahun 1918 ia adalah seorang sahabatku yang
baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air. Di
tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama dan bermimpi
bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia
berjuang semata-mata menurut azas agama Islam," kata Soekarno dalam buku
'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat' Karya Cindy Adams, Terbitan Media
Pressido.
Perbedaan ideologi antara Soekarno dan Kartosoewirjo
itu mengakibatkan keduanya berseberangan dan mengambil jalan masing-masing.
Bahkan, Kartosoewirjo berusaha menumbangkan Soekarno dengan Pancasilanya yang di kutip "merdeka.com/peristiwa/kisah-soekarno-teken-persetujuan-eksekusi-mati-sahabat-karib".
2.Moh.Hatta.
Hatta dan Soekarno banyak berselisih soal politik.
Hatta tak menyukai kepemimpinan sentralistik yang dilakukan Soekarno. Hatta
juga menilai Soekarno feodal dan otoriter. Sebaliknya, Soekarno tak menyukai
sistem multipartai yang menimbulkan banyak pertentangan politik di dalamnya.
Seperti diketahui, Hatta lah yang menandatangani Dekrit Wakil Presiden no X
tahun 1945 yang menganjurkan pembentukan partai politik.
Hatta juga tak setuju dengan gaya hidup Soekarno
yang beristri lebih dari satu. Seperti diketahui, Hatta sangat puritan dan
penuh aturan jika menyangkut hubungan dengan lawan jenis.
Maka Hatta berdiri di luar pemerintahan. Gaya
hidupnya tetap sederhana. Istri Hatta bahkan tidak mampu membeli mesin jahit
impiannya. Begitu pula dengan Hatta yang memimpikan sepasang sepatu Bally.
Hanya sepasang sepatu, tapi mantan wakil presiden ini tak kunjung bisa membelinya.
Perseteruan Hatta dan Soekarno berlanjut. Hatta
berdiri tegak di luar pemerintahan. Lewat orasi ilmiah serta tulisan di surat
kabar, dia mengkritik Soekarno yang makin otoriter. Soekarno membalasnya dengan
membredel koran dan majalah yang dianggapnya mengkritik dirinya.
Di panggung politik keduanya saling menyerang. Tapi
di kehidupan pribadi, keduanya tetap bersahabat. Ajudan Soekarno, Kolonel
Bambang Widjanarko melukiskan kisah persahabatan dua pria itu. Hatta
mengunjungi Soekarno ketika sakit, begitu pula sebaliknya. Saat Soekarno
ditumbangkan Orde Baru dan menjadi tahanan rumah, Hatta pula yang menjadi wali
nikah bagi putra Soekarno, Guntur tahun 1970.
Hatta juga mengunjungi Soekarno menjelang akhir
hayatnya. Pertemuan terakhir dua sahabat itu konon begitu mengharukan. Tidak
banyak kata yang terucap. Tapi keduanya telah saling mengerti dan saling
memaafkan. Beberapa hari setelah pertemuan itu, Soekarno meninggal yang di kutip"merdeka.com/peristiwa/saat-hatta-meninggalkan-soekarno"
3.Sutan Syahrir.
Kisah penahanannya bermula dari undangan dari Anak
Agung Gede Agung pada 18 Agustus 1961. Mantan Menteri Luar Negeri RI dalam
kabinet Burhanuddin Harahap ini menggelar upacara ngaben untuk ayahnya, Raja
Gianyar.
Maka, datanglah Hatta, Sutan Sjahrir, Moh. Roem,
Sultan Hamid II, dan sejumlah tokoh lain untuk memenuhi undangan Anak Agung Gde
Agung. Tapi belakangan pertemuan ini disebut sebagai ajang konspirasi subversif
oleh Soebandrio, yang kala itu menjabat Menteri Luar Negeri dan Kepala Pusat Intelijen.
Selanjutnya, pada 16 Januari 1962, Sjahrir ditangkap
di rumahnya. Kemudian Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastrosatomo, dan Sultan
Hamid II pun dicokok. Tokoh-tokoh Masyumi seperti Moh Roem dan Prawoto
Mangkusasmito juga ditangkap. Hanya Hatta, kolega berpolitik Sjahrir sejak
1920-an di Belanda, yang tak disentuh.
Bersama para tahanan politik lain, Sjahrir
ditempatkan di sebuah rumah di Jalan Daha, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Tiga bulan kemudian mereka dipindahkan ke Madiun, Jawa Timur. Di sana mereka diperlakukan dengan cukup
baik.
Jurnalis Rosihan Anwar, dalam Sutan Sjahrir:
Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya, menulis,
"Keadaan di penjara Madiun dengan sipir yang bersikap luwes cukup membantu
para penghuninya supaya tidak terlalu stress. Ada kolam renang, ada lapangan
tenis. Keluarga dan handai taulan gampang berkunjung.
Di RTM itu, pada suatu malam, Sjahrir ditemukan
terkapar di kamar mandi akibat serangan stroke. Pertolongan medis tidak segera
diberikan. Keesokan harinya baru dia dibawa ke rumah sakit dan dioperasi.
Namun, operasi gagal dan Sjahrir tidak lagi bisa bicara
4.Tan Malaka.
.Saat itu Amir dan Soedarsono
memberikan Aboe Bakar Loebis dan Soebadio surat perintah tertulis penangkapan
Tan Malaka dkk. Keduanya ditugasi untuk melakukan penangkapan.
Rencana penangkapan terhadap Tan juga diketahui dan
disetujui oleh Presiden Soekarno . Soekarno yang saat itu berada di Yogyakarta
telah diberitahu soal rencana itu.
"Dari Soekarno , Loebis dan Slamet diberi uang
RP 100.000 untuk biaya berlindung, dan sekretaris Soekarno meminjamkan
mobilnya," demikian ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan
Revolusi Indonesia Jilid I' Karya Harry A Poeze.
Keduanya lantas berangkat menuju Madiun. Dengan
bermodal surat perintah dari dua menteri, mereka meminta bantuan polisi dan TRI
setempat untuk menangkap Tan Malaka dan para pengikutnya. Namun, permintaan itu
ditolak. Keduanya lantas meminta bantuan kepada Ormas Pesindo. Loebis meminta
Pesindo menutup akses keluar kota agar Tan Malaka dan pengikutnya di PP tak
bisa keluar Madiun.
Bantuan dari Polisi Tentara (PT) Madiun juga
diperolehnya. Saat itu Komandan PT Madiun, Mayor Soenadi adalah bekas teman
Loebis di sekolah. PT juga menempatkan di akses transportasi massal seperti
kereta. Alhasil, setelah Kongres PP berakhir, para pemimpinnya yang hendak
pulang ke kota asal berhasil ditangkap antara lain; Moh Yamin, Abikoesno
Tjokrosoedjoso. Tapi Tan Malaka dan Soekarni belum juga tertangkap.
Tan Malaka yang telah mendapat laporan penangkapan
itu meminta para pemuda memeriksa jalan menuju Magetan yang tak dijaga. Tapi
semuanya sia-sia. Pesindo dan PT ternyata telah menjaga semua akses jalan.
Dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid'
Tan mengatakan sebenarnya bisa saja dirinya meloloskan diri meski Madiun telah
dikepung Pesindo dan PT. Sebab, dalam pelarian di luar negeri, meloloskan diri
dari kejaran musuh adalah hal yang biasa baginya. Namun, Tan memilih menghadapi
secara kesatria. Sebab, saat itu ramai isu tak sedap mengenai dirinya. Tan
disebut hanya bisa mengritik pemerintah dan akan lari jika ada masalah.
Singkat cerita, Tan Malaka akhirnya dipertemukan
dengan Loebis di rumah penguasa daerah, Soesanto. Saat itu Tan dijanjikan akan
dipertemukan dengan Bung Karno. Namun, hal itu dibantah oleh Loebis. Ia hanya
menjamin keselamatan Tan Malaka tapi tak bisa menjamin mempertemukan dengan
Soekarno.