Di saat terjadi pemberontakan G30S/PKI, satu-satunya
jendral yang selamat dari operasi tersebut Jendral AH. Nasution. Bisa di
katakan ia memiliki jabatan yang lebih tinggi di bandingkan Soeharto dan
sayangnya ia tidak seperti Soeharto yang akhirnya menjadi pemimpin tertinggi
dan akhirnya malah terasingkan.
Tetapi secara ringkas menurut analisis:
1. Dalam sistem kekuasaan dimanapun, tidak boleh ada
dua matahari. Apalalagi kalau matahari yang satunya lebih bersinar. Saat
Jenderal DR. AH Nasution menjadi KASAD dan Menteri tahun 1960an( Nasution jadi
Kasad sejak Kolonel, tahun1951 sampai berpangkat Jenderal tahun 1963), Soeharto
masih berpangkat Kolonel dan menjadi Pangdam Diponegoro.
Jadi Soeharto itu benar-benar anak buah Jenderal
Nasution, sekitar tiga (3) tingkat dibawahnya. Jadi Soeharto sangat sungkan dan
hormat pada Jenderal Nasution. Bahkan saat Nasution menjadi Ketua MPRS, maka
Nasution-lah yg melantik Soeharto sebagai Presiden tahun 1968.
Bisa dibayangkan bagaimana kikuknya Soeharto
berkuasa. Disatu sisi masih hidup Bung Karno dengan pengikutnya yang kuat (
meski dalam tahanan Orba), disisi lain ada senior yang disegani dan kuat
pengaruhnya di militer saat itu yaitu Jenderal Nasution. Saat itu diam diam
pendukung Soeharto, dimotori Ali Moertopo, melakukan silent operation
penyingkiran Nasution secara pelan-pelan, misalnya dengan melemahkan MPRS dll.
Sehingga tahun 1972 praktis Nasution tersingkir setelah melepas jabatan MPRS.
Sedang Soekarno sudah wafat tahun 1970. Sehingga Soeharto melenggang sebagai
lsuperstar di panggung politik negara sejak itu.
2.Cara penyingkiran lainnya oleh rezim Soeharto yg
dimotori Ali Moertopo adalah dengan memberi cap atau stigma bahwa Nasution
adalah pendukung Negara Islam ( padahal disatu sisi Nasution dibenci oleh ex
DI/TII dan mungkin juga oleh ex PRRI karena menumpas gerakan tersebut selama
memimpin AD). Sikap Ali Moertopo diduga karena indoktrinasi tokoh CSIS Pater
Beek yang menyebut setelah iblis besar PKI berhasil disingkirkan maka masih ada
iblis lain ( maksudnya Islam) yang harus di perhitungkan. Doktrin inilah yang
dijalankan CSIS cq Ali Moertpo, sehingga muncul apa yang dikenal misalnya
"proyek Komando Jihad", yang intinya menyudutkan Islam. Nasution
dimasukkan dalam kelompok Islam politik yang ingin berkuasa. Jadi harus
diwaspadai dan disingkirkan.
3. Perbedaan Strategi Membangun Orde Baru. Kata Orde
Baru itu diyakini diperkenalkan awalnya oleh Jenderal Nasution. Namun ada
perbedaan mendasar antara Nasution dengan Soeharto. Nasution menginginkan
Pembangunan Manusia seutuhnya (character and nation building) dengan misalnya
prioritas Pembangunan berporos Pembangunan Manusia dengan tiang utamanya
membangun pendidikan (sebelum jadi tentara Nasution adalah guru), sementara
Soeharto dengan Tim "Mafia Barkeley" nya sudah siap dengan
Pembangunan Ekonomi.
Perbedaan pilihan prioritas strategi pembangunan
inilah yang menjauhkan hubungan Nasution dengan Soeharto. Kadang saya berpikir,
Mahathir sukses membangun Malaysia karena pilihan strateginya Membangun Manusia
kah?
4. Dugaan saya, sekali lagi dugaan, dalam penanganan
perkara Bung Karno, terlibat atau tidak dalam Peristiwa G30S, Nasution
berkeinginan agar Soekarno diadili saja. Biar tidak menimbulkan tanda tanya
sejarah berkepanjangan. Kalaupun terpaksa dihukum, karena jasanya yang besar,
negara akan memberikan amnesti. Sehingga tidak terjadi kontroversi Sejarah
berkepanjangan seperti sekarang.
Namun dugaan saya Soeharto sebagai orang Jawa,
menganut faham mikul dhuwur mendhem jero. Segala keburukan orang tua harus
ditutupi. Tinggal kita menilai sekarang mana dari dua faham itu yang baik dan
benar dalam konteks kekinian.
5. Menyangkut penerapan Dwifungsi ABRI. Dwifungsi
itu bermula dari Pidato "Jalan Tengah" KASAD Jenderal Nasution di
Akmil Magelang tahun 1958.
Latar belakangnya begini. Setelah penyerahan
kedaulatan dari Belanda ke Indonesia 1949 (pasca KMB) Angkatan Darat menerima
kekuasaan sipil.
Melihat kelemahan sistem politik Parlementer menjadi
jelas, perwira semakin merasa mereka memiliki tanggung jawab untuk melibatkan
diri dalam politik untuk "menyelamatkan bangsa dan negara".
Ketika darurat militer dideklarasikan pada tahun
1957 karena berbagai pembrontakan di berbagai daerah, pemerintahan sipil tampak
lemah, maka Angkatan Darat memperluas perannya dalam bidang ekonomi dan
administrasi politik.
Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada saat itu
berbicara kepada Presiden Soekarno, bahwa sangat ingin melanjutkan peran ini
setelah darurat militer dicabut, dan karena itu mengembangkan konsep
"Jalan Tengah" di mana Angkatan Darat diberikan peluang bagi peranan
terbatas di dalam pemerintahan sipil.
“...memberikan cukup saluran pada tentara kita bukan
sebagai organisasi, tetapi sebagai perorangan-perorangan yang menjadi eksponen
daripada organisasi kita, (untuk) turut serta menentukan, kebijaksanaan negara
kita pada tingkat-tingkat yang tinggi”.
Saya menafsirkan jalan tengah ala Nasution ini adalah
memberikan sedikit peran TNI ke wilayah sipil misalnya duduk menjadi anggota
MPR RI, dalam ikut menyumbang pikiran strategis tanpa mendominasi pemerintahan
(sipil). Ini sesuai semangat kekeluargaan dan gotong royong dalam Pancasila.
Hanya sampai peran demikian yang diharapkan Nasution. Ini mengakomodasi
semangat zaman itu di berbagai negara Asia, Afrika dan Amerika Latin yang
militernya berebut kekuasaan atau Kudeta. Nasution tidak ingin TNI terlibat
kudeta, karena sekali kudeta akan disusul kudeta berikutnya. Maka Nasution
mengusul Jalan Tengah tsb. Hanya itu harapan Nasution.
Tetapi konsep Jalan Tengah Nasution ini diexploitir
oleh Soeharto yang berkuasa 10 tahun kemudian setelah Pidato Jalan Tengah
Nasution.
Soeharto memanfaatkan dengan konsep dwifungsi ABRI,
yang menempatkan ABRI mendominasi kekuasaan sipil. Seperti kita saksikan selama
Soeharto berkuasa semua jabatan strategis Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati,
Dubes, Lembaga dll diborong TNI khususnya AD.
Dwifungsi begini yang ditentang Nasution.
Ini masuk dalam salah satu sebab Jenderal Nasution
disingkirkan oleh Soeharto.
6. Sebagai orang yang sangat agamis dan humanis,
Nasution meskipun anak dan ajudannya jadi korban G30S, saya yakin tidak ingin
melampiaskan dendamnya kepada yang terlibat termasuk kepada mereka rakyat bawah
yang dituduh PKI. Mungkin Nasution prihatin atas perlakuan rezim Soeharto
terhadap mereka yang dianggap tidak tahu menahu apa itu G30S/PKI. Di lembaga
atau Yayasan yg dipimpin oleh isterinya Ny.Johana Soenarti Nasution (penerima
Award dari R Magsaysay, Philipina) antara lain ada disalurkan bantuan-bantuan
kemanusiaan untuk korban keluarga yang dituduh PKI. Bahkan pernah berkomunikasi
dengan Adi Sasono (Yayasan Humaika) mengurus korban tsb.
7. Sampai tahun 1980-an sejak Nasution dkk
mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi dengan Bung Hatta, juga
dengan M.Natsir dll, lalu keluar apa yang sangat dikenal sebagai Petisi 50,
hubungan Jenderal Soeharto dengan Jenderal Nasution makin memburuk. Salah satu
Jendral yang ingin gebuk Nasution, adalah Pangkokamtib Jendral Soemitro.
Baru setelah Soeharto dekat dengan Islam jelang
akhir kekuasaannya, dan Habibie mulai berpengaruh, maka Habibie lah yang
mendekatkan hubungan kedua Jenderal Besar itu.
Setelah reformasi, menurut Sepri Jendral Soeharto,
Irjen Pol Anton Tabah, kedua Jendral tua itu sering bertemu sarapan pagi di
Jalan Cendana (Info ini dibantah oleh salah seorang yang dekat Jendral Nasution
sampai akhir hidupnya)
Mungkin dua-duanya sangat prihatin dan sedih lihat hasil
reformasi dan melihat kelakuan junior-juniornya. Nasution wafat 5 September
2000. Delapan tahun kemudian Soeharto menyusul. Semoga segala dosanya diampuni
dan amal baiknya bagi bangsa dan negara diterima Allah SWT.