Prri Dan Permesta

Prri Dan Permesta


PRRI dan PERMESTA


Gerakan Separatis
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia [PRRI]
Perjuangan Semesta [PERMESTA]
A. Pendahuluan
Terjadinya suatu peristiwa tidak lepas dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, seperti yang telah diketahui bahwa dalam disiplin ilmu sejarah berlaku hukum kausalitas atau sebab-akibat . Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai faktor yang menyebabkannya. Faktor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini.


1. Situasi Indonesia Secara Umum.

 Kondisi politik

Tatanan politik yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-legalistik. Bangsa indonesia memasuki periode demokrasi liberal yang berdasarkan demokrasi parlementer. Para menteri bertanggungjawab kepada perdana menteri, bukan kepada presiden . Setelah dibentuknya kabinet Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin kacau. Pergantian kabinet secara terus menerus yang terjadi hampir setiap tahun. Berbagai kebijakan silih berganti tiap periode menimbulkan keadaan yang tidak kondusif.

Pecahnya Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan bangsa. Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri secara resmi dari jabatanya sebagai wakil presiden. Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak tahun 1955. Perbedaan pendapat dan latar belakang walaupun keduanya sebagai tokh muslim yang nasionalis, namun Soekarno cenderung ke Marxis serta bermain api dengan komunis, sedangkan Hatta cenderung ke Sosialis dan anti komunis .

Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan ”Demokrasi Terpimpin”, demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai demokrasi yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara Barat yang memecah belah berdasar keputusan”50%+1”. Demokrasi terpimpin dijalankan dengan Dasar ”Kabinet Gotong Royong” yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI . Soekarno juga ingin menyampaikan ”konsepsi”nya mengenai fraksi politik di Indonesia. Konsepsi presiden merupakan cerminan kekecewaan Bung Karno terhadap sistem parlementer. Mencakup dukungan publik Soekarno supaya PKI memainkan peranan yang lebih besar dalam dunia politik Indonesia.

 Kondisi perekonomian.

Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan berada pada titik kekacauan. Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan ekonomi Kabinet Hatta yang akomodatif terhadap modal asing dipertahankan oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara lain kabinet Natsir, Sukiman, dan kabinet Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-1954), haluan politik itu sama sekali ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkali hanyalah sembohyan. Kabinet ini menganggap bahwa modal asing sangat merugikan bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan administratif sangat diperhatikan. Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping pegawai dari pusat ke daerah. Partai PNI semakin nampak diperkuat.

Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan yang semakin parah. Sentralisme melalui sistem dropping pegawai mendesak putra-putra daerah dalam mengatur urusan daerah sendiri, serta peranan mereka di pusat. Semua administrator pemerintah mayoritas berasal dari Jawa, sedangkan yang berasal dari putera daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem birokrasi sangat berkaitan dengan partai politik yang sedang berkuasa. Sedangkan keinginan untuk ber-otonomi semakin kuat di setiap daerah.

 Permasalahan Militer di indonesia

Di dalam tubuh suatu negara pastilah terdapat separangkat alat-alat negara. Setiap alat mempunyai fungsi khusus dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Salah satu alat yang sangat vital peranannya dalam pemeliharaan keutuhan serta pertahanan negara adalah tentara atau militer. Militer merupakan lembaga yang mempunyai eksklusivitas tersendiri. Keprofesionalisme-annya perlu di hormati oleh sipil. Keberadaanya harus diperhatikan. Militer di suatu negara baru merdeka cenderung melangkah ke arah politik . Hal tersebut terkait dengan peranannya dalam perjuangan mereka pra-kemerdekaan suatu bangsa. Militer selalu menjadi oposan bagi pemerintahan sipil. Jika pemerintahan sipil dirasa tidak mampu memerintah dengan baik maka pemberontakan maupun perebutan kekuasaan oleh militer mustahil untuk tidak terjadi. Salah satu contohnya adalah gerakan PRRI/PERMESTA di Indonesia.

Tekanan pada tentara yang profesional memang penting, namun dalam kondisi politik yang tidak menentu menenggelamkan potensi laten yang terbukti ampuh pada masa perang kemerdekaan. Oleh sebab itu, berbagai problem sosial dan ekonomi yang muncul nyaris tidak dapat teratasi . Sebenarnya gerakan PRRI/Permesta hanyalah koreksi terhadap kebijakan pemerintah pusat serta keadaan yang morat-marit demi kepentingan bangsa secara umum.

2. Situasi di Daerah

Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai factor yang menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini.
Sejak 1950, daerah tetap menjadi produsen ekspor, namun hasilnya lebih dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan ”sentralistik” dalam pandangan permesta . Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.

Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah.

Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Salah satunya adalah golongan prajurit yang merasakan kesulitan tersebut. Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah ekonomi seperti penyalahgunaan devisa, pemberian ijin istimewa kepada anggota partai penyokongnya serta birokrasi yang berbelit-belit menghambat para pedagang. Para pimpinan pasukan di berbagai wilayah juga dibuat kesal oleh alokasi keuangan yang tidak terlaksana semestinya bagi operasi-operasi militer serta kesejahteraan prajurit. Akhirnya tindakan ekspor/“barter” dilakukan tanpa disesuaikan dengan prosedur di Jakarta. Hal tersebut dilakukan di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, serta panglima pasukan dari wilayah lainnya. Keterlibatan TT I dalam peristiwa ”barter” yaitu keterlibatan mereka dalam memberikan perlindungan kepada pengusaha-pengusaha yang melakukan ekspor–ekspor yang dianggap merugikan negara menyebabkan KASAD Nasution memberhentikan Kolonel Simbolon untuk sementara . Selain itu, beberapa perwira tinggi militer Sumatera terlibat dalam peristiwa Cikini dan merencanakan pemberontakan diberhentikan dengan tidak hormat .
Di Sulawesi, situasi yang mendorong lahirnya Permesta yaitu masalah otonom intern di Indonesia Timur dan di pengaruhi oleh pembentukan dewan-dewan di Sumatera.

B. GERAKAN PRRI/PERMESTA

a. Jalannya Pemberontakan

Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :

1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.

Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.

Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan:

1. melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
2. Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak lagi mengakui kabinet Djuanda.
3. Mulai tanggal 22 desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan Tetorium I

Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).

Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.

Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur . Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta .

Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang , sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.

Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.

Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI . Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination).

Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.

b. Upaya Penumpasan

 Upaya Diplomatis

Melihat realita yang terjadi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai cara untuk menyelesaikannya. Langkah pertama yang dilakukan oleh Kasad Nasution terhadap timbulnya awal gejolak pada bulan Desember 1956 adalah dengan mengeluarkan surat perintah tanggal 2 januari 1957 untuk Kolonel Gatot Subroto, Kol. Ahmad Yani, Letkol. Sjoeib, Mayor Alwin Nurdin, Ayor Sahala Hutabarat, dan Mayor Ali Hasan untuk menemui kolo. Simbolon dan para komandan resimennya untuk mengusahakan agar tidak terjadi bentrok secara fisik. Namun usaha ini tidak berhasil karena cenderung kontroversif dengan keadaan. Mayjen Nasution telah melakukan pendekatan terselubung terhadap bawahan Simbolon sendiri, yaitu Letkol. Djamin Ginting dan Letkol Wahab Makmur untuk mengambil kedudukan panglima.

Usaha Pemerintah Pusat untuk memenuhi tuntutan daerah yaitu dengan mengirim sejumlah misi, seperti misi Kol. Dahlan Djambel, menteri pertanian Eny Karim, Dr.J Leimena/ Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir Pamuntjak, dan Kol. Mokoginta Cs. Misi-misi tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah di Sumatera Tengah. Misi tersebut kemudian disusul dengan pembentukan Panitia Tujuh dan penyelenggaraan Munas serta Musyawarah pembangunan. Namun semua usaha diplomatis yang dilakukan Pemerintah Pusat tidak berhasil.

 Tindakan dari RI terhadap PRRI dan Permesta secara bersenjata

Penolakan terhadap ultimatum PRRI oleh Pusat diikuti dengan pemboman terhadap Padang dan daerah kantong pemberontakan lainnya. Kemudian pemberontakan terang-terangan terjadi di Sumatera dan diikuti oleh Permesta di Sulawesi. Setelah melihat situasi tersebut, pemerintah Pusat melakukan upaya lebih lanjut dengan operasi militer. Operasi tersebut antara lain :

1. Operasi yang dilaksanakan di Sumatera

a. Operasi tegas dilaksanakan pada 12 Maret 1958 di Sumatra Timur.
b. 16 April 1958, pengiriman pasukan dalam ”Operasi 17 Agustus” di bawah Kolonel Achmad Yani, yang dibantu oleh seorang perwira Angkatan Darat AS, Benson. Tanggal 17 April, pasukan Yani telah menguasai Padang sepenuhnya.
c. Operasi Sapta Marga dibawah Brigadir Jenderal Jatikusuma dengan sasaran Sumatera Timur dan Sumatera Utara.
d. Operasi Sadar dibawah pimpinan Letkol. Ibnu Sutowo dengan daerah sasaran Sumatera Selatan.

2. Pemecatan terhadap para pemimpin pemberontakan dari jajaran militer Indonesia, dan dilaksanakan Operasi
Marga pada bulan April untuk menumpas Permesta.

a. Operasi Sapta Marga I dibawah pimpinan Letkol. Soemarsono dengan sasaran Sulawesi Tengah
b. Operasi Sapta Marga II dibawah pimpinan Letkol. Agus Pramono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan
c. Operasi Sapta Marga III dibawah pimpinan Letkol. Magenda dengan sasaran sebelah Utara Menado.
d. Operasi Sapta Marga IV dibawah pimpinan Letkol. Rukminto Hendraningrat dengan sasaran Sulawesi Utara
e. Operasi Sapta Marga V dibawah pimpinan Pieters dengan sasaran Jailolo.
f. Operasi Sapta Marga VI dibawah pimpinan Letkol. KKO. H.H W. Huhnhloz dengan sasaran Murotai

c. Akhir Pemberontakan

Pemberontakan di Sumatra dapat dengan mudah ditumpas oleh pemerintah. Mereka tidak melakukan perlawanan yang berarti. Pasukan banyak yang melarikan diri, bersebunyi dan menyerah. Para tentara kebanyakan dari para pelajar dan mahasiswa yang belum berpengalaman dalam perang. Tawaran Soekarno dan Nasution tentang pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi diterima oleh mereka .

C. Dampak Pemberontakan Bagi Bangsa Indonesia

Terjadinya PRRI/Permesta membawa luka luar dalam bagi masyarakat di dalamnya. Di Minang, korban yang jatuh dari pihak PRRI kurang lebih berjumlah 22.174 jiwa, 4.360 luka-luka, 8.072 ditahan. Dari pihak APRI pusat jumlah yang meninggal adalah 10.150 jiwa, terdiri dari 2.499 tentara, 956 anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592 orang sipil . Pembangunan fisik yang selama ini dibangun menjadi hancur. Masyarakat Minang menjadi rendah diri, muno, lalu cigin ke rantau.

Perubahan kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah. Dekrit presiden 5 juli 1959 yang menetapkan kembalinya pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Dengan berhasil ditumpasnya PRRI/Permesta maka PKI justru berkembang sebagai kekuatan yang semakin kuat di tubuh TNI AD dan semakin berpengaruh terhadap Soekarno dalam kaitannya dengan perpolitikan Indonesia yaitu diakuinya Nasakom [nasionalisme, sosialisme, dan agama].

Dampak selanjutnya adalah menimbulkan kesadaran di kalangan pimpinan negara bahwa wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka ragam masalah di setiap daerah. Sembohya Binneka tunggal Ika harus dihayati makna dan hakekatnya. Hak otonomi yang luas memang perlu diberika kepada setiap daerah agar setia ebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing daerah .

Peristiwa gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II pada tanggal 14 Maret 1957 yang ditandai dengan penyerahan mandat dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo kepada Presiden. Kabinet tersebut digantikan oleh kabinet Djuanda yang secara resmi di bentuk pada tanggal 9 April 1957 .


Meta